counter

Kamis, 02 Mei 2013

Bidadari Surga...

Setiap manusia punya rasa cinta,
yang mesti dijaga kesuciannya
namun ada kala insan tak berdaya
saat dusta mampir bertahta

Kuinginkan dia,
yang punya setia
yang mampu menjaga kemurniannya
saat ku tak ada
ku jauh darinya
amanah pun jadi penjaganya

"Hatimu tempat berlindungku
dari kejahatan syahwatku
Tuhanku merestui itu,
dijadikan engkau istriku

Engkaulah...
Bidadari Surgaku...

Tiada yang mmahami,
sgala kekuranganku,
kecuali kamu, bidadariku

Maafkanlah aku,
dengan kebodohanku
yang tak bisa membimbing dirimu

"Hatimu tempat berlindungku
dari kejahatan syahwatku
Tuhan merestui itu,
dijadikan  engkau istriku

Engkaulah...
Bidadari surgaku...

Robbana Hablana
min Azwa jina
wanurriatina kurrota a'yun
wajaalna lil muttaqina
imamaa...imamaa..imamaa...

Bidadari Surgaku...

Oleh : Ust. Jefry Al Buchori

Rabu, 24 April 2013

Cinta, Kerja dan Harmoni...


Cinta itu seperti arus dalam aliran listrik, Tidak berbentuk tapi dayanya terasa.

Lampupun menyala karena aliran arus listrik itu.
Kerja adalah bukti cinta. dua hal ini, cinta dan kerja, seperti dua sisi mata uang.
Cinta tanpa kerja : bohong. Kerja tanpa cinta : ompong. Maka, buktikan cintamu dengan bekerja.
buat gelegar kerjamu dengan cinta,.
Cinta akan begitu indah, bila diharmonikan dengan kerja yang tulus, lembut dan penuh cinta.
Kedua kata itu akan lebih menyala dengan Harmoni, Ia semacam Guidance, rambu-rambu. karena segalanya harus penuhi kriteria : pertengahan. pertengahan inilah yang dimaksud dengan harmoni.
maka, cinta yang menyejarah adalah cinta pertengahan. sesuai dosis, sesuai tujuan.
Seberapa besar seharusnya kita mencintai Allah, Rasulnya, kaum muslimin juga umat manusia seluruhnya.
Begitupun dengan kerja, tidak membabi buta, bukan pula mengerjakan semua.
Tapi sesuai tupoksi yang diberikan. Jika Allah memerintahkan kita shubuh dua rakaat, maka kerjakan sebanyak itu, jangan ditambah juga jangan dikurangi. dan seterusnya.
Cinta, Kerja dan Harmoni adalah sebuah sinergi padu, bahwa semua yang kita lakukan, harus berlandaskan cinta, berbukti kerja dan berlandaskan harmoni.
Maka cinta, kerja dan harmoni selalu berpadu menjadi satu bagaikan satu tubuh yang tak terpisahkan,
yang akan membawa keindahan dan kebaikan disetiap waktunya.
Jika ini yang telah dilakukan, maka menang dan kalah bukan lagi soal angka.
Tapi terlatak seberapa kuat kita memperjuangkan nilai.

Sumber : DAKWATUNA



Selasa, 23 April 2013

Menjaga, Menata, lalu Bercahaya...



Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan  menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.

Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’.

Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.

”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.

”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.

”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”

♥♥♥

Tak mudah menjadi lelaki sejantan Salman. Tak mudah menjadi sahabat setulus Abud Darda’. Dan tak mudah menjadi wanita sejujur shahabiyah yang kelak kita kenal sebagaiUmmud Darda’. Belajar menjadi mereka adalah proses belajar untuk menjadi orang yang benar dalam menata dan mengelola hati. Lalu merekapun bercahaya dalam pentas sejarah.

Oleh : Salim A. Fillah


Jumat, 19 April 2013

Merindukan Orang Seperti Umar...


Membaca pernyataan Dirjen Pajak bahwa di kuartal pertama 2010 ada sekitar 200 Gayus lain membuat kita miris. Apalagi mendengar bahwa Gayus hanya kelas teri atau amatiran, masih banyak yang kelas kakap dan profesional. Tidak heran jika kemudian ada kekecewaan mendalam dari para wajib pajak. Termasuk rakyat kecil yang dalam kesusahannya tetap taat membayar pajak. Sampai-sampai kini ada grup di facebook yang menolak membayar pajak dan dalam waktu singkat memperoleh anggota yang begitu banyak.


Apakah dunia kita hari ini telah dipenuhi dengan praktik seperti itu? Tidakkah sejarah bisa diulangi. Seperti zaman awal Islam, saat pemimpinnya memberikan keteladanan lalu mewarnai para pegawai pemerintahan. Seperti sikap Umar.
Diantara riwayat yang masyhur telah diriwayatkan oleh Al-Baihaqi. Bahwa ada orang yang memberi hadiah kepada istri Umar berupa dua bantal kecil untuk bersandar. Umar masuk rumah dan mengetahui kedua hadiah itu. Umar bertanya, “Dari mana engkau dapatkan dua bantal ini? Apakah dari membeli? Beritahukan kepadaku dan jangan membohongiku.” Istrinya menjawab, “Si fulan telah mengirimkannya kepadaku.” Maka Umar berkata, “Celakalah si fulan! Ia mempunyai kepentingan denganku, sementara ia tidak mampu untuk menembus langsung lewat diriku, maka ia tetap datang kepadaku lewat keluargaku.” Lalu Umar menarik hamparan alas yang sedang diduduki bersama dua bantal hadiah tersebut dengan sekuat tenaga, dan membawanya keluar.
Ternyata ia dibuntuti oleh pembantu perempuannya sambil berkata, “Tuan, alasnya milik kita!” Mendengar itu Umar memisahkan alas itu dan melemparkannya kepada pembantunya. Ia terus keluar membawa dua bantal itu, untuk diberikannya kepada orang lain: satu diberikan kepada perempuan Muhajirin dan yang lain diberikan kepada perempuan Ansar.
Dalam riwayat yang lain ada seorang laki-laki yang setiap tahun memberi hadiah kepada Umar berupa paha kambing. Pada suatu saat laki-laki tadi datang kepada Umar untuk mengadukan masalah sengketa. Ia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, berilah kami keputusan yang benar-benar mampu bisa memisahkan antara yang benar dan yang salah, sebagaimana terpisahnya paha kambing dari tubuh kambing yang disembelih.” Umar tahu maksud laki-laki ini tetapi ia tetap memutuskan dengan adil. Setelah itu, Umar berkirim surat kepada para pegawainya, “Janganlah engkau menerima hadiah, karena sesungguhnya hadiah itu adalah suap.”
Kita merindukan orang-orang seperti Umar. Orang-orang kuat yang tidak saja mampu menahan dirinya untuk tetap amanah, tetapi juga menjaga keluarganya. Orang-orang berkepribadian kokoh yang tidak hanya mampu membentengi dirinya dari suap tetapi juga menyadarkan pegawainya agar tidak khianat. Bukankah kehidupan akan jauh lebih indah? Bukankah keadilan akan lebih terasa? Demikian pula, bukankah kesejahteraan akan menjadi nyata? Kita merindukan orang-orang seperti Umar. Namun, kerinduan saja tidak cukup untuk menghadirkan mereka dalam kenyataan. Kalau bukan kita yang memulai, siapa lagi?

Ketika Cinta Berbuah Syurga



Di tanah Kurdistan , ada seorang raja yang adil dan shalih. Dia memiliki seorang anak laki-laki yang tampan, cerdas, dan pemberani. Saat-saat paling menyenangkan bagi sang raja adalah ketika dia mengajari anaknya itu membaca Al-Quran. Sang raja juga menceritakan kepadanya kisah-kisah kepahlawanan para panglima dan tentaranya di medan pertempuran. Anak raja yang bernama Said itu, sangat gembira mendengar penuturan kisah ayahnya. Si kecil Said akan merasa jengkel jika di tengah-tengah ayahnya bercerita, tiba-tiba ada orang yang memutuskannya.

Terkadang, ketika sedang asyik mendengarkan cerita ayahnya tiba-tiba pengawal masuk dan memberitahukan ada tamu penting yang harus ditemui oleh raja. Sang raja tahu apa yang dirasakan anaknya.


Maka, dia memberi nasihat kepada anaknya, “Said, Anakku, sudah saatnya kamu mencari teman sejati yang
setia dalam suka dan duka. Seorang teman baik, yang akan membantumu untuk menjadi orang baik. Teman sejati yang bisa kau ajak bercinta untuk surga.”

Said tersentak mendengar perkataan ayahnya.
“Apa maksud Ayah dengan teman yang bisa diajak bercinta untuk surga?” tanyanya dengan nada penasaran.

“Dia adalah teman sejati yang benar-benar mau berteman denganmu, bukan karena derajatmu, tatapi karena kemurnian cinta itu sendiri, yang tercipta dari keikhlasan hati. Dia mencintaiumu karena Allah. Dan Dengan dasar itu kau pun bisa mencintainya dengan penuh keikhlasan karena Allah. Kekuatan cinta kalian akan melahirkan kekuaan dahsyat yang membawa manfaat dan kebaikan. Kekuatan cinta itu juga akan bersinar dan membawa kalian masuk surga.”

“Bagaimana cara mencari teman seperti itu, Ayah?” tanya Said.

Sang raja menjawab, “Kamu harus menguji orang yang hendak kau jadikan teman. Ada sebuah cara menarik untuk menguji mereka. Undanglah siapapun yang kau anggap cocok menjadi temanmu untuk makan pagi di sini, di rumah kita. Jika sudah sampai di sini, ulurlah dan perlamalah waktu penyajian makanan. Biarkan mereka semakin lapar. Lihatlah kemudian apa yang mereka perbuat. Saat itu, rebuslah tiga buitr telur. Jika dia tetap bersabar, hidangkanlah tiga telur itu kepadanya. Lihatlah, apa yang kemudian mereka perbuat! Itu cara yang paling mudah bagimu. Syukur jika kau bisa mengetahui perilakunya lebih dari itu.”

Said sangat gembira mendengar nasihat ayahnya. Dia pun mempraktekkan cara mencari teman sejati yang cukup aneh itu. Mula-mula ia mengundang anak-anak para pembesar kerajaan satu per satu. Sebagian besar dari mereka marah- marah karena hidangnya tidak keluar-keluar. Bahkan, ada yang pulang tanpa pamit dengan hati kesal, ada yang memukul-mukul meja, ada yang melontarkan kata-kata tidak terpuji, memaki-maki karena terlalu lama menunggu hidangan.

Diantara teman anak raja itu, ada seorang bernama Adil. Dia anak seorang menteri. Said melihat sepertinya Adil anak yang baik hati dan setia. Maka dia ingin mengujinya. Diundanglah Adil untuk makan pagi. Adil memang menunggu keluarnya hidangan dengan setia. Setelah dirasa cukup, Said mengeluarkan sebuah piring berisi tiga telur rebus.

Melihat itu, Adil berkata keras, “Hanya ini sarapan kita? Ini tidak cukup mengisi perutku!”

Adil tidak mau menyentuh telur itu. Dia pergi begitu saja meniggalkan Said sendirian. Said diam. Dia tidak perlu meminta maaf kepada Adil karena meremehkan makanan yang telah dia rebus dengan kedua tangannya. Dia mengerti bahwa
Adil tidak lapang dada dan tidak cocok untuk menjadi teman sejati.

Hari berikutnya, dia mengundang anak seorang saudagar terkaya. Tentu saja anak saudagar itu sangat senang mendapat undangan makan pagi dari anak raja. Malam harinya, sengaja ia tidak makan dan melaparkan perutnya agar paginya bisa makan sebanyak mungkin. Dia membayangkan makanan anak raja pasti enak dan lezat.

Pagi-pagi sekali, anak saudagar kaya itu telah datang menemui Said. Seperti anak-anak sebelumnya, dia menunggu waktu yang lama sampai makanan keluar. Akhirnya, Said membawa piring dengan tiga telur rebus di atasnya.

“Ini makanannya, saya ke dalam dulu mengambil air minum.” Kata Said seraya meletakkkan piring itu di atas meja.




Lalu, Said masuk kedalam. Tanpa menunggu lagi, anak saudagar itu langsung malahap satu persatu telur itu. Tidak lama kemudian, Said keluar membawa dua gelas air putih. Dia melihat ke arah meja ternyata tiga telur itu telah lenyap. Ia kaget.

“Mana telurnya?” tanya Said pada anak saudagar.
“Telah aku makan.”
“Semuanya?”
“Ya, habis aku lapar sekali.”

Melihat hal itu Said langsung tahu bahwa anak saudagar itu juga tidak bisa dijadikan teman setia. Dia tidak setia. Tidak bisa merasakan suka dan duka bersama. Sesungguhnya, Said juga belum makan apa-apa.

Said merasa jengkel kapada anak-anak di sekitar istana. Mereka semua mementingkan diri sendiri. Tidak setia kawan. Tidak bisa merasakan suka dan duka bersama. Akhirnya, Said meminta izin kepada ayahnya untuk pergi mencari teman sejati.

****
Akhirnya, Said berpikir untuk mencari teman di luar istana. Kemudian, mulailah Said berpetualang melewati hutan, ladang, sawah, dan kampung-kampung untuk mencari seorang teman yang baik.

Sampai akhirnya, di suatu hari yang cerah, dia bertemu dengan anak seorang pencari kayu yang berpakaian sederhana. Anak itu sedang memanggul kayu bakar. Said mengikutinya diam-diam sampai anak itu tiba di gubuknya. Rumah dan pakaian anak itu menunjukkan bahwa dia sangat miskin. Namun, wajah dan sinar matanya memancarkan tanda kecerdasan dan kebaikan hati. Anak itu mengambil air wudhu, lalu shalat dua rakaat. Said memerhatikannya dari balik rumpun pepohonan.

Selesai salat, Said datang dan menyapa, “Kawan, kenalkan namaku Said. Kalau boleh tahu, namamu siapa? Kau tadi shalat apa?”

“Namaku Abdullah. Tadi itu shalat dhuha.”

Lalu, Said meminta anak itu agar bersedia bermain dengannya dan menjadi temannya.

Namun, Abdullah menjawab, “Kukira kita tidak cocok menjadi teman. Kau anak orang kaya, malah mungkin anak bangsawan. Sedangkan aku, anak miskin. Anak seorang pencari kayu bakar.”

Said menyahut, “Tidak baik kau mengatakan begitu. Mengapa kau membeda-bedakan orang? Kita semua adalah hamba Allah. Semuanya sama, hanya takwa yang membuat orang mulia di sisi Allah. Apa aku kelihatan seperti anak yang jahat sehingga kau tidak mau berteman denganku? Kau nanti bisa menilai, apakah aku cocok atau tidak menjadi temanmu.”

“Baiklah kalau begitu, kita berteman. Akan tetapi, dengan syarat hak dan kewajiban kita sama, sebagai teman yang seia-sekata.”

Said menyepakati syarat yag diajukkan oleh anak pencari kayu itu. Sejak hari itu, mereka bermain bersama; pergi ke hutan bersama ,memancing bersama, dan berburu kelinci bersama. Anak tukang kayu itu mengajarinya berenang di sungai, menggunakan panah dan memanjat pohon di hutan. Said sangat gembira sekali berteman dengan anak yang cerdas, rendah hati, lapang dada dan setia. Akhirnya, dia kembali ke istana dengan hati gembira.

Hari berikutnya, anak raja itu berjumpa lagi dengan teman barunya. Anak pencari kayu itu langsung mengajaknya makan di gubuknya. Dalam hati, Said merasa kalah, sebab sebelum dia mengundang makan, dia telah diundang makan.

Di dalam gubuk itu, mereka makan seadanya, sepotong roti, garam, dan air putih. Namun, Said makan dengan sangat lahap. Ingin sekali rasanya dia minta tambah kalau tidak mengingat, siapa tahu anak pencari kayu ini sedang mengujinya. Oleh karena itu, Said merasa cukup dengan apa yang diberikan kepadanya.

Selesai makan, Said mengucapkan hamdalah dan tersenyum. Setelah itu, mereka kembali bermain. Said banyak menemukan hal-hal baru di hutan, yang tidak dia dapatkan di dalam istana. Oleh temannya itu dia diajari untuk mengenali dan membedakan jenis dedaunan dan buah-buahan di hutan; antara daun dan buah yang bisa dimakan, yang bisa dijadikan obat, serta yang beracun.

“Dengan mengenal jenis buah dan dedaunan di hutan secara baik, kita tidak akan repot jika suatu kali tersesat. Persediaan makanan ada di sekitar kita. Inilah keagungan Allah!” kata anak pencari kayu.

Seketika itu, Said tahu bahwa ilmu tidak hanya dia dapat dari madrasah seperti yang ada di ibukota kerajaan ilmu ada di




mana-mana. Bahkan, di hutan sekalipun. Hari itu, Said banyak mendapatkan pengalaman berharga.

Ketika matahari sudah condong ke Barat, Said berpamitan kepada sahabatnya itu untuk pulang. Tidak lupa, Said mengundangnya makan di rumahnya besok pagi. Lalu, dia memberikan secarik kertas pada temannya itu.

“Pergilah ke ibu kota , berikan kertas ini kepada tentara yang kau temui di sana . Dia akan mengantarkanmu ke rumahku,” kata Said sambil tersenyum.

“Insya Alloh aku akan datang.” Jawab anak pencari kayu itu.

*****
Pagi harinya, anak pencari kayu sampai juga di istana. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Said adalah anak raja. Mulanya, dia ragu untuk masuk istana. Akan tetapi, jika mengingat kebaikan dan kerendahan hati Said selama ini, dia berani masuk juga.

Said menyambutnya dengan hangat dan senyum gembira. Seperti anak-anak sebelumnya yang telah hadir di ruang makan itu. Said pun menguji temannya    ini. Dia membiarkannya menunggu lama sekali. Namun, anak pencari kayu itu sudah terbiasa lapar. Bahkan, dia pernah tidak makan selama tiga hari. Atau, terkadang makan daun-daun mentah saja. Dia hanya berpikir, seandainya semua anak bangsawan bisa sebaik anak raja ini, tentu dunia akan tentram.

Selama ini, dia mendengar bahwa anak-anak pembesar kerajaan senang hura-hura. Namun, dia menemukan seorang anak raja yang santun dan shalih.

Akhirnya, tiga butir telur masak pun dihidangkan. Said mempersilahkan temannya untuk memulai makan. Anak pencari kayu bakar itu mengambil satu. Lalu, dia mengupas kulitnya pelan-pelan. Sementara Said mengupas dengan cepat dan menyantapnya. Lalu dengan sengaja Said mengambil yang ketiga, mengupasnya dengan cepat dan melahapnya. Temannya selesai mengupas telur. Said ingin melihat apa yang akan dilakukan temannya dengan sebitur telur itu, apakah akan dimakannya sendiri atau….?

Anak miskin itu mengambil pisau yang ada di dekat situ. Lalu, dia membelah telur itu jadi dua. Yang satu dia pegang dan yang satunya lagi, dia berikan kepada Said. Tidak ayal lagi, Said menangis terharu.

Lalu Said pun memeluk anak pencari kayu bakar itu erat-erat seraya berkata. “Engkau teman sejatiku! Engkau teman sejatiku! Engkau temanku masuk surga.”

Sejak itu, keduanya berteman dan bersahabat dengan sangat akrab. Persahabatan meraka melebihi saudara kandung. Mereka saling mencintai dan saling menghormati karena Alloh swt.

Karena kekuatan cinta itu mereka bahkan sempat bertahun-tahun mengembara bersama untuk belajar dan berguru kepada para ulama yang tersebar di Turki, di Syiria, di Irak, di Mesir dan di Yaman.

Setelah berganti bulan dan tahun, akhirnya keduanya tumbuh dewasa. Raja yang adil, ayah Said meninggal dunia. Akhirnya, Said diangkat menjadi raja untuk menggantikan ayahnya. Menteri yang pertama kali dia pilih adalah Abdullah, anak pencari kayu itu. Abdullah pun benar-benar menjadi teman seperjuangan dan penasihat raja yang tiada duanya.

Meskipun telah menjadi raja dan menteri, keduanya masih sering malakukan shalat tahajud dan membaca Al-Quran bersama. Kecerdasaan dan kematangan jiwa keduanya mampu membawa kerajaan itu maju, makmur, dan jaya.--- baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.




                    


Dikutip dari sebuah karya Habiburrahman El Shirazy

Kamis, 18 April 2013

Mata Air Kecemerlangan


Islam datang dengan 2 pesona; pesona kebenaran yang abadi dan pesona manusia muslim yang temporal. Dan pada setiap momentum sejarah di mana kedua pesona itu bertemu, Islam selalu berada di puncak kekuatan dan kejayannya. Akan tetapi, itulah masalah Islam saat ini. Ia memang tidak akan pernah kehilangan pesona kebenarannya, karena kebenarannya bersifat abadi. Namun, ia kini masih kehilangan pesona manusianya.

catatan Delapan Mata Air Kecemerlangan ini merupakan upaya penulis menjawab problematika itu. Untuk menjadikan muslim sebagai pesona Islam, maka kita harus mempertemukan manusia-manusia muslim itu dengan mata air kecemerlangannya.


Mata Air Pertama: Konsep Diri
Konsep diri adalah suatu kesadaran pribadi yang utuh, kuat, jelas, dan mendalam tentang visi dan misi hidup; pilihan jalan hidup beserta prinsip dan nilai yang membentuknya; peta potensi; kapasitas dan kompetensi diri; peran yang menjadi wilayah aktualisasi dan kontribusi; serta rencana amal dan karya unggulan. Konsep Diri menciptakan perasaan terarah dalam struktur kesadaran pribadi kita. Keterarahan adalah salah satu mata air kecemerlangan.
Konsep Diri manusia Muslim adalah kesadaran yang mempertemukan antara kehendak-kehendaknya sebagai manusia; antara model manusia Muslim yang ideal dan universal dengan kapasitas dirinya yang nyata dan unik, antara nilai-nilai Islam yang komprehensif dan integral dengan keunikan-keunikan pribadinya sebagai individu; antara ruang aksi dan kreasi yang disediakan Islam dengan kemampuan pribadinya untuk beraksi dan berkreasi; dan antara idealisme Islam dengan realitas pribadinya.
                                                                                                                                

Mata Air Kedua: Cahaya Pikiran
Perubahan, perbaikan, dan pengembangan kepribadian harus selalu dimulai dari pikiran kita. Sebab, tindakan, perilaku, sikap, dan kebiasaan kita sesungguhnya ditentukan oleh pikiran-pikiran yang memenuhi benak kita. Bukan hanya itu, semua emosi atau perasaan yang kita rasakan dalam jiwa kita seperti kegembiraan dan kesedihan, kemarahan dan ketenangan, juga ditentukan oleh pikiran-pikiran kita. Kita adalah apa yang kita pikirkan.
Maka, kekuatan kepribadian kita akan terbangun saat kita mulai memikirkan pikiran-pikiran kita sendiri, memikirkan cara kita berpikir, memikirkan kemampuan berpikir kita, dan memikirkan bagaimana seharusnya kita berpikir. Benih dari setiap karya-karya besar yang kita saksikan dalam sejarah, selalu terlahir pertama kali di sana: di alam pikiran kita. Itulah ruang pertama dari semua kenyataan hidup yang telah kita saksikan.


Mata Air Ketiga: kekuatan Tekad
Tekad adalah jembatan di mana pikiran-pikiran masuk dalam wilayah fisik dan menjelma menjadi tindakan. Tekad adalah energi jiwa yang memberikan kekuatan kepada pikiran untuk merubahnya menjadi tindakan. Pikiran tidak akan pernah berujung dengan tindakan, jika ia tidak turun dalam wilayah hati, dan berubah menjadi keyakinan dan kemauan, serta kemudian membulat menjadi tekad. Begitu ia menjelma jadi tekad, maka ia memperoleh energi yang akan merangsang dan menggerakkan tubuh untuk melakukan perintah-perintah pikiran.
Bila tekad itu kuat dan membaja, maka tubuh tidak dapat, atau tidak sanggup menolak perintah-perintah pikiran tersebut. Akan tetapi, bila tekad itu tidak terlalu kuat, maka daya rangsang dan geraknya terhadap tubuh tidak akan terlalu kuat, sehingga perintah-perintah pikiran itu tidak terlalu berwibawa bagi tubuh kita.
Maka, kekuatan dan kelemahan kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh sebesar apa tekadnya, yang merupakan energi jiwa dalam dirinya. Tekad yang membaja akan meloloskan setiap pikiran di sleuruh prosedur kejiwaan, dan segera merubahnya menjadi tindakan.

Mata Air Keempat: Keluhuran Sifat
Pada akhirnya semua kekuatan internal ?kosep diri, pikiran dan tekad- yang telah kita bangun dalam diri kita, haruslah bermuara pada munculnya sifat-sifat keluhuran. Kecemerlangan seseorang di dalam hidup sesungguhnya berasal ?salah satunya- dari mata air keluhuran budi pekertinya. Dari mata air keluhuran itu, semua nilai-nilai kemanusiaan yang mulia terjalin menjadi satu kesatuan, dan menampakkan diri dalam bentuk sifat-sifat terpuji.

Sifat-sifat itulah yang akan tampak di permukaan kepribadian kita, mewakili keseluruhan pesona kekuatan kepribadian yang kita miliki, yang sebagiannya terpendam di kedalaman dasar kepribadian kita. Kekuatan pesona sifat-sifat keluhuran itu seperti sihir, yang akan menaklukkan akal dan hati orang-orang yang ada di sekitarnya, atau yang bersentuhan dengannya secara langsung.

Setiap sifat memiliki akar tersendiri yang terhunjam dalam di kedalaman pikiran dan emosi kita. Seperti juga pohon, sifat-sifat itu tersusun sedemikian rupa di mana sebagian mereka melahirkan sebagian yang lain. Ada sejumlah sifat-sifat tertentu yang berfungsi seperti akar pada pohon, yang kemudian tumbuh berkembang menjadi batang, dahan dan ranting, daun dan buah. Demikianlah kita tahu bahwa semua sifat keluhuran berakar pada lima sifat: cinta kebenaran, kesabaran, kasih sayang, kedermawanan, dan keberanian.

Mata Air Kelima: Manajemen Aset Fundamental
Obsesi-obsesi besar, pikiran-pikiran besar, dan kemauan-kemauan besar selalu membutuhkan daya dukung yang juga sarana besarnya. Salah satunya dalam bentuk pengelolaan dua aset fundamental secara baik, yaitu kesehatan dan waktu.
Fisik adalah kendaraan jiwa dan pikiran. Perintah-perintah pikiran dan kehendak-kehendak jiwa tidak akan terlaksana dengan baik, bila fisik tidak berada dalam kondisi kesehatan yang prima. Kadang-kadang, jumlah ?penumpang? yang mengendarai fisik kita melebihi kapasitasnya dan membuatnya jadi oleng. Akan tetapi, perawatan yang baik akan menciptakan keseimbangan yang rasional antara muatan dan kapasitas kendaraan.
Waktu adalah kehidupan. Setiap manusia diberikan kehidupan sebagai batas masa kerja dalam jumlah yang berbeda-beda, yang kemudian kita sebut dengan umur yang terbentang dari kelahiran hingga kematian. Tidak ada manusia yang mengetahui akhir dari batas masa kerja itu, yang kemudian kita sebut ajal. Hal itu menciptakan suasana ketidakpastian, tetapi itulah aset paling berharga yang kita miliki.
Ibarat menempuh sebuah perjalanan yang panjang, fisik kita berfungsi sebagai kereta, dan waktu yang terbentang jauh atau dekat, seperti rel kereta. Seorang masinis boleh menentukan stasiun terakhir yang kita tuju, tetapi dia harus menjamin bahwa kereta yang dikemudikannya dan rel yang akan dilewatinya benar-benar berada dalam keadaan baik.
Kesehatan dan waktu adalah dua perangkat keras kehidupan yang sangat terbatas. Akan tetapi, manusia-manusia cemerlang selalu dapat meraih sesuatu secara maksimal dari semua keterbatasan yang melingkupinya.

Mata Air Keenam: Integrasi Sosial
Kemampuan beradaptasi dengan lingkungan masyarakat di mana kita berada bukan saja merupakan ukuran kematangan pribadi seseorang, tetapi lebih dari itu. Sebab, lingkungan sosial kita harus dipandang sebagai wadah kita untuk menyemai semua kebaikan yang telah kita kembangkan dalam diri. Dengan cara pandang ini, maka setiap diri kita akan membangun hubungan sosialnya dengan semangat partisipasi: menyebarkan bunga-bunga kebaikan di taman kehidupan masyarakat kita.


Dengan semangat ini, maka semua usaha kita untuk menciptakan keharmonisan sosial menjadi niscaya. Bukan saja karena dengannya kita dapat menyebarkan kebaikan yang tersimpan dalam diri kita, tetapi juga karena kita menciptakan landasan yang kokoh untuk meraih kesuksesan, berkah kehidupan, dan kebahagiaan dalam hidup.
Jika kematangan pribadi merupakan landasan bagi kesuksesan sosial, maka kesuksesan sosial merupakan landasan bagi kesuksesan lain dalam hidup, seperti kesuksesan profesi.

Mata Air Ketujuh: Kontribusi
Kehadiran sosial kita tidak boleh berhenti pada tahap partisipasi. Harus ada langkah yang lebih jauh dari sekadar itu. Harus ada karya besar yang kita kontribusikan kepada masyarakat, yang berguna bagi kehidupan mereka; sesuatu yang akan dicatat sebagai jejak sejarah kita, dan sebagai amal unggulan yang membuat kita cukup layak mendapatkan ridha Allah SAW dan sebuah tempat terhormat dalam surga-Nya.
Kontribusi itu dapat kita berikan pada wilayah pemikiran, atau wilayah profesionalisme, atau wilayah kepemimpinan, atau wilayah finansial, atau wilayah lainnya. Namun, kontribusi apa pun yang hendak kita berikan, sebaiknya memenuhi dua syarat: memenuhi kebutuhan masyarakat kita dan dibangun dari kompetensi inti kita. Masyarakat adalah pengguna karya-karya kita, maka yang terbaik yang kita berikan kepada mereka adalah apa yang paling mereka butuhkan, dan apa yang tidak dapat dipenuhi oleh orang lain. Akan tetapi, kita tidak dapat berkarya secara maksimal di luar dari kompetensi inti kita. Karena itu, kita harus mencari titik temu diantara keudanya. Caranya adalah sebagai berikut: buatlah peta kebutuhan kondisional masyarakat kita, dan kemudian buatlah peta potensi kita, untuk menemukan kompetensi inti diri kita. Apabila titik temu itu telah kita temukan, maka masih ada satu lagi yang harus kita lakukan; menjemput momentum sejarah untuk meledakkan potensi kita menjadi karya-karya besar yang monumental. Ini semua mengharuskan kita memiliki kesadaran yang mendalam akan tugas sejarah kita sebagai pribadi, sekaligus firasat yang tajam tentang momentum-momentum sejarah kita.


Mata Air Kedelapan: Konsistensi
Sebagai manusia beriman, kita meyakini sebuah prinsip, bahwa bagian yang paling menentukan dari seseorang adalah akhir hidupnya. Maka, persoalan paling berat yang kita hadapi sesungguhnya bukanlah mendaki gunung, tetapi bagaimana bertahan di puncak gunung itu hingga akhir hayat.
Mengukir sebuah prestasi besar dalam hidup dan mempertahankannya hingga akhir hayat, adalah dua misi dan tugas hidup yang berbeda; berbeda pada kapasitas energi jiwa yang diperlukannya, berbeda pada proses-proses psikologisnya, berbeda pula pada ukuran kesuksesannya. Untuk dapat bertahan di puncak, kita harus menghindari jebakan-jebakan kesuksesan, seperti rasa puas yang berlebihan atau perasaan menjadi besar dengan kesuksesab yang telah kita raih. kita harus mempertahankan obsesi pada kesempurnaan pribadi, melakukan perbaikan berkesinambungan, melakukan perbaikan berkesinambungan, melakukan pertumbuhan tanpa batas akhir, dan mempertahankan semangat kerja dengan menghadirkan kerinduan abadi kepada surga dan kecemasan abadi dari neraka, serta menyempurnakan semua usaha-usaha manusiawi kita dengan berdoa kepada Allah untuk mendapatkan husnul khatimah. Semua itu agar kita menjemput takdir sejarah kita yang terhormat di bawah naungan ridha Allah SWT, dan agar kita kelak menceritakan episode panjang kepahlawanan ini kepada saudara-saudara kita di surga.

Oleh : H. M. Anis Matta, Lc.

Kami Adalah Da'i


Nahnu Du’aatun Qabla Kulli Syai’in. “Kami adalah da'i sebelum jadi apapun”.


Suatu gambaran pribadi yang unik dengan penataan resiko terencana untuk meraih masa depan bersama Allah dan Rasul-Nya. Inilah kafilah panjang, pembawa risalah kebenaran yang tak putus sampai ke suatu terminal akhir kebahagiaan surga penuh ridha Allah swt.

Setiap muslim adalah dai. Kalau bukan dai kepada Allah, berarti ia adalah dai kepada selain Allah, tidak ada pilihan ketiganya. sebab dalam hidup ini, kalau bukan Islam berarti hawa nafsu. Dan hidup di dunia adalah jenak-jenak dari bendul waktu yang tersedia untuk memilih secara merdeka, kemudian untuk dipertanggungjawabkan di hadapan Rabbul insan kelak. Bagi muslim, dakwah merupakan darah bagi tubuhnya, ia tidak bisa hidup tanpanya. Aduhai, betapa agungnya agama Islam jika diemban oleh rijal (orang mulia).

Dakwah merupakan aktivitas yang begitu dekat dengan aktivitas kaum muslimin. Begitu dekatnya sehingga hampir seluruh lapisan terlibat di dalamnya.Sayang keterlibatan tersebut tidak dibekali ”Fiqh Dakwah” sehingga kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih besar daripada kebaikan yang diperbuat.

Disini menjadi jelas akan pentingnya kebutuhan terhadap fiqh dakwah, sebagaimana digambarkan para ulama, bahwa ”kebutuhan manusia akan ilmu lebih sangat daripada kebutuhan terhadap makan dan minum”. Sehinga penting bagi kaum muslimin yang telah dan hendak terjun dalam kancah dakwah untuk membekali diri dengan pemahaman yang utuh terhadap Islam dan dakwah Islam. Karena orang yang piawai dalam menyampaikan namun tidak memiliki pemahaman yang benar terhadap Islam ”sama bahayanya” dengan orang yang memiliki pemahaman yang benar akan tetapi bodoh di dalam menyampaikan, mengapa?

Pertama; ia akan menyesatkan kaum muslimin dengan kepiawaiannya (logika kosongnya). Kedua; Hal itu akan menjadi ”dalil” bagi orang-orang kafir dalam kekafirannya (keungulan bungkusannya).

Adalah fiqh dakwah merupakan sarana untuk menjembatani lahirnya pemahaman yang shahih terhadap Islam didukung kemampuan yang baik di dalam menyampaikan. Sehingga dengan aktivitas dakwah ini ummat dapat menyaksikan ”Islam” dalam diri, keluarga dan aktivitas para dai yang melakukan perbaikan ummat secara integral, mengeluarkan manusia dari pekat jahiliyah menuju cahaya Islam.

Bagi mereka yang yang berjalan diatas rel kafilah dakwah menuju cahaya dan kebahagiaan dunia dan akherat, dapat melihat prinsip-prinsip dakwah dan kaidah- kaidahnya, agar menjadi hujjah atau pegangan bagi manusia dan menjadi alasan di hadapan Allah, Ustadz Jum’ah Amin Abdul Aziz memaparkan tentang hal ini, yaitu; ”Fiqh Da’wah: Prinsip dan kaidah dasar Dakwah”, yang diambil dari usul fiqh sebagai bekal para dai tersebut adalah sebagai berikut:

1    1.      Qudwah (teladan) sebelum dakwah
2    2.      Menjalin keakraban sebelum pengajaran
3    3.      Mengenalkan Islam sebelum memberi tugas
4    4.      Bertahap dalam pembebanan tugas
5    5.      Mempermudah, bukan mempersulit
6    6.      Menyampaikan yang ushul (dasar) sebelum yang furu’ (cabang)
7    7.      Memberi kabar gembira sebelum ancaman
8    8.      Memahamkan, bukan mendikte
9    9.      Mendidik bukan menelanjangi
1    10.  Menjadi murid seorang imam, bukan muridnya buku.

Harapan, kiranya Allah swt senantiasa mencurahkan taufiq dan petunjuk-Nya kepada para dai yang ikhlas menyeru manusia ke jalan Allah, memperbaiki diri, keluarga dan masyarakat serta tempat kerja, sehingga Allah terlibat dalam urusan dan kebijakan-kebijakan yang akan ditetapkan untuk orang banyak, demi tegaknya tatanan Islam yang indah dalam kehidupan dengan bimbingan Allah dan sesuai panduan manhaj (aturan) dakwah Rasulullah saw. Wallahu ‘alam


Ashabul Kahfi


Kisah ini begitu kesohor. Dengan kekuasaan-Nya Allah Subhanahu wa Ta’ala menidurkan sekelompok pemuda yg berlindung di sebuah gua selama 309 tahun. Apa hikmah di balik ini semua?



Ashhabul Kahfi adalah para pemuda yg diberi taufik dan ilham oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga mereka beriman dan mengenal Rabb mereka. Mereka mengingkari keyakinan yg dianut oleh masyarakat mereka yg menyembah berhala. Mereka hidup di tengah-tengah bangsa sembari tetap menampakkan keimanan mereka ketika berkumpul sesama mereka sekaligus krn khawatir akan gangguan masyarakatnya. Mereka mengatakan:
رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُوْنِهِ إِلَهًا لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا
“Rabb kami adl Rabb langit dan bumi kami sekali-kali tdk akan menyeru Rabb selain Dia sesungguh kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yg jauh.”
Yakni apabila kami berdoa kepada selain Dia berarti kami telah mengucapkan suatu
شَطَطًا yaitu perkataan palsu dusta dan dzalim.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan perkataan mere
ka selanjutnya:
هَؤُلاَءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِنْ دُوْنِهِ آلِهَةً لَوْلاَ يَأْتُوْنَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللهِ كَذِبًا
“Kaum kami ini telah mengambil sesembahan-sesembahan selain Dia. Mereka tdk mengajukan alasan yg terang Siapakah yng lbh dzalim daripada orang2 yg mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?”
Ketika mereka sepakat terhadap persoalan ini mereka sadar tdk mungkin menampakkan kepada kaumnya. Mereka berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memudahkan urusan mereka:


رَبَّنَاآتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
“Wahai Rabb kami berilah kami rahmat dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yg lurus dlm urusan kami.”
Mereka pun menyelamatkan diri ke sebuah gua yg telah Allah Subhanahu wa Ta’ala mudahkan bagi mereka. Gua itu cukup luas dgn pintu menghadap ke utara sehingga sinar matahari tdk langsung masuk ke dalamnya. Kemudian mereka tertidur dgn perlindungan dan pegawasan dari Allah selama 309 tahun. Allah Subhanahu wa Ta’ala buatkan atas mereka pagar berupa rasa takut meskipun mereka sangat dekat dgn kota tempat mereka tinggal. Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yg menjaga mereka selama di dlm gua. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِيْنِ وَذَاتَ الشِّمَالِ
“Dan Kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri.”
Demikianlah agar jasad mereka tdk dirusak oleh tanah. Setelah tertidur sekian ratus tahun lama Allah Subhanahu wa Ta’ala membangunkan mereka
لِيَتَسَاءَلُوا dan supaya mereka pada akhir mengetahui hakekat yg sebenarnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِْينَةِ
“Berkatalah salah seorang dari mereka: ‘Sudah berapa lama kalian menetap ?’ Mereka menjawab: ‘Kita tinggal di sini sehari atau setengah hari.’ Yang lain berkata pula: ‘Rabb kalian lbh mengetahui berapa lama kalian berada . mk suruhlah salah seorang di antara kalian pergi ke kota membawa uang perakmu ini’.”
Di dlm kisah ini terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah yg nyata. Di antaranya:
1. Walaupun menakjubkan kisah para penghuni gua ini bukanlah ayat Allah yg paling ajaib. Karena sesungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai ayat-ayat yg menakjubkan yg di dlm terdapat pelajaran berharga bagi mereka yg mau memerhatikannya.
2. Sesungguh siapa saja yg berlindung kepada Allah niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi dan lembut kepada serta menjadikan sebagai sebab orang2 yg sesat mendapat hidayah . Di sini Allah Subhanahu wa Ta’ala telah bersikap lembut terhadap mereka dlm tidur yg panjang ini utk menyelamatkan iman dan tubuh mereka dari fitnah dan pembunuhan masyarakat mereka. Allah menjadikan tidur ini sebagai bagian dari ayat-ayat -Nya yg menunjukkan kesempurnaan kekuasaan Allah dan berlimpah kebaikan-Nya. Juga agar hamba-hamba-Nya mengetahui bahwa janji Allah itu adl suatu kebenaran.
3. Anjuran utk mendapatkan ilmu yg bermanfaat sekaligus mencarinya. Karena sesungguh Allah mengutus mereka adl utk hal itu. Dengan pembahasan yg mereka lakukan dan pengetahuan manusia tentang keadaan mereka akan menghasilkan bukti dan ilmu atau keyakinan bahwa janji Allah adl benar dan bahwa hari kiamat yg pasti terjadi bukanlah suatu hal yg perlu disangsikan.
4. Adab kesopanan bagi mereka yg mengalami kesamaran atau ketidakjelasan akan suatu masalah ilmu adl hendaklah mengembalikan kepada yg mengetahuinya. Dan hendak dia berhenti dlm perkara yg dia ketahui.
5. Sah menunjuk wakil dlm jual beli dan sah pula kerjasama dlm masalah ini. Karena ada dalil dari ucapan mereka dlm ayat:
فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِيْنَة
“Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota membawa uang perakmu ini.”
6. Boleh memakan makanan yg baik dan memilih makanan yg disenangi atau sesuai selera selama tdk berbuat israf yg terlarang berdasarkan dalil:
فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ
“Hendaklah dia lihat manakah makanan yg lbh baik mk hendaklah dia membawa makanan itu untukmu.”
7. Melalui kisah ini kita dianjurkan utk berhati-hati dan mengasingkan diri atau menjauhi tempat-tempat yg dapat menimbulkan fitnah dlm agama. Dan hendak seseorang menyimpan rahasia sehingga dapat menjauhkan dari suatu kejahatan.
8. Diterangkan dlm kisah ini betapa besar kecintaan para pemuda yg beriman itu terhadap ajaran agama mereka. Dan bagaimana mereka sampai melarikan diri meninggalkan negeri mereka demi menyelamatkan diri dari segenap fitnah yg akan menimpa agama mereka utk kembali pada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
9. Disebutkan dlm kisah ini betapa luas akibat buruk dari kemudaratan dan kerusakan yg menumbuhkan kebencian dan upaya meninggalkannya. Dan sesungguh jalan ini adl jalan yg ditempuh kaum mukminin.
10. Bahwa firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قَالَ الَّذِيْنَ غَلَبُوا عَلَى أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا
“orang2 yg berkuasa atas urusan mereka berkata: ‘Sungguh kami tentu akan mendirikan sebuah rumah ibadah di atas mereka’.”
Di dlm ayat ini terdapat dalil bahwa masyarakat di mana mereka hidup adl orang2 yg mengerti agama. Hal ini diketahui krn mereka sangat menghormati para pemuda itu sehingga sangat berkeinginan membangun rumah ibadah di atas gua mereka. Dan walaupun ini dilarang –terutama dlm syariat agama kita– tetapi tujuan diceritakan hal ini adl sebagai keterangan bahwa rasa takut yg begitu besar yg dirasakan oleh para pemuda tersebut akan fitnah yg mengancam keimanan serta masuk mereka ke dlm gua telah Allah Subhanahu wa Ta’ala gantikan sesudah itu dgn keamanan dan penghormatan yg luar biasa dari manusia. Dan ini adl ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap orang yg menempuh suatu kesulitan krn Allah di mana Dia jadikan bagi akhir perjalanan yg sangat terpuji.
11. Pembahasan yg berbelit-belit dan tdk bermanfaat adl suatu hal yg tdk pantas utk ditekuni berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَلاَ تُمَارِ فِيْهِمْ إلاَّ مِرَاءً ظَاهِرًا
“Karena itu janganlah kamu bertengkar tentang keadaan mereka kecuali pertengkaran lahir saja.”
12. Faedah lain dari kisah ini bahwasa berta kepada yg tdk berilmu tentang suatu persoalan atau kepada orang yg tdk dapat dipercaya adl perbuatan yg dilarang. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan:
وَلاَ تَسْتَفْتِ فِيْهِمْ مِنْهُمْ أَحَدًا
“Dan jangan pula berta mengenai mereka kepada salah seorang di antara mereka itu.”

penulis Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib