counter

Minggu, 13 Juli 2014

Ciri Orang Besar Memulai


Oleh : Ustadz KH Rahmat Abdullah (Allahu yarham)
Pagi yang indah selalu dihadirkan Allah SWT untuk kita yang memiliki keterpautan hati dan bisa merasakan betapa besar Cinta-Nya pada hambanya. Mata yang masih bisa melihat Keindahan itu, udara yang masih bisa kita hirup, aliran darah dan denyut nadi yang masih bisa kita rasakan, menunjukkan jika kita masih diberi eksistensi oleh-Nya. Rasulullah SAW yang melihat umatnya dari syurga Firdaus-Nya, mendoakan kita yang tak kenal letih memperjuangkan risalah dakwah untuk kejayaan Islam di Bumi Allah ini. Semoga kelak kita semua dikumpulkan bersama Baginda Rasul dan para keluarga serta sahabat.
Terkadang kita ini terlalu banyak menggunakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk sesuatu di luar diri kita. Juga terlalu banyak energi dan potensi kita untuk memikirkan selain diri kita, baik itu merupakan kesalahan, keburukan, maupun kelalaian. Namun ternyata sikap kita yang kita anggap kebaikan itu tidak efektif untuk memperbaiki yang kita anggap salah. Banyak orang yang menginginkan orang lain berubah, tapi ternyata yang diinginkannya itu tak kunjung terwujud. Kita sering melihat orang yang menginginkan Indonesia berubah. Tapi, pada saat yang sama, ternyata keluarganya ‘babak belur’, di kampus tak disukai, di lingkungan masyarakat tak bermanfaat. Itu namanya terlampau muluk.
Jangankan mengubah Indonesia, mengubah keluarga sendiri saja tidak mampu. Banyak yang menginginkan situasi negara berubah, tapi kenapa merubah sikap adik saja tidak sanggup. Jawabnya adalah: kita tidak pernah punya waktu yang memadai untuk bersungguh-sungguh mengubah diri sendiri. Tentu saja, jawaban ini tidak mutlak benar. Tapi jawaban ini perlu diingat baik-baik. Siapa pun yang bercita-cita besar, rahasianya adalah perubahan diri sendiri. Ingin mengubah Indonesia, caranya adalah ubah saja diri sendiri. Betapapun kuatnya keinginan kita untuk mengubah orang lain, tapi kalau tidak dimulai dari diri sendiri, semua itu menjadi hampa. Setiap keinginan mengubah hanya akan menjadi bahan tertawaan kalau tidak dimulai dari diri sendiri. Orang di sekitar kita akan menyaksikan kesesuaian ucapan dengan tindakan kita.
Boleh jadi orang yang banyak memikirkan diri sendiri itu dinilai egois. Pandangan itu ada benarnya jika kita memikirkan diri sendiri lalu hasilnya juga hanya untuk diri sendiri. Tapi yang dimaksud di sini adalah memikirkan diri sendiri, justru sebagai upaya sadar dan sungguh-sungguh untuk memperbaiki yang lebih luas. Perumpamaan yang lebih jelas untuk pandangan ini adalah seperti kita membangun pondasi untuk membuat rumah. Apalah artinya kita memikirkan dinding, memikirkan genteng, memikirkan tiang yang kokoh, akan tetapi pondasinya tidak pernah kita bangun. Jadi yang merupakan titik kelemahan manusia adalah lemahnya kesungguhan untuk mengubah dirinya, yang diawali dengan keberanian melihat kekurangan diri.
Pemimpin mana pun bakal jatuh terhina manakala tidak punya keberanian mengubah dirinya. Orang sukses mana pun bakal rubuh kalau dia tidak punya keberanian untuk mengubah dirinya. Kata kuncinya adalah keberanian. Berani mengejek itu gampang, berani menghujat itu mudah, tapi, tidak sembarang orang yang berani melihat kekurangan diri sendiri. Ini hanya milik orang-orang yang sukses sejati. Orang yang berani membuka kekurangan orang lain, itu biasa. Orang yang berani membincangkan orang lain, itu tidak istimewa. Sebab itu bisa dilakukan oleh orang yang tidak punya apa-apa sekali pun. Tapi, kalau ada orang yang berani melihat kekurangan diri sendiri, bertanya tentang kekurangan itu secara sistematis, lalu dia buat sistem untuk melihat kekurangan dirinya, inilah calon orang besar.
Mengubah diri dengan sadar, itu juga mengubah orang lain. Walaupun dia tidak berucap sepatah kata pun untuk perubahan itu, perbuatannya sudah menjadi ucapan yang sangat berarti bagi orang lain. Percayalah, kegigihan kita memperbaiki diri, akan membuat orang lain melihat dan merasakannya. Memang pengaruh dari kegigihan mengubah diri sendiri tidak akan spontan dirasakan. Tapi percayalah, itu akan membekas dalam benak orang. Makin lama, bekas itu akan membuat orang simpati dan terdorong untuk juga melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Ini akan terus berimbas, dan akhirnya semakin besar seperti bola salju. Perubahan bergulir semakin besar.
Jadi kalau ada orang yang bertanya tentang sulitnya mengubah keluarga, sulitnya mengubah anak, jawabannya dalam diri orang itu sendiri. Jangan dulu menyalahkan orang lain, ketika mereka tidak mau berubah. Kalau kita sebagai ustadz, atau kyai, jangan banyak menyalahkan santrinya. Tanya dulu diri sendiri. Kalau kita sebagai pemimpin, jangan banyak menyalahkan bawahannya, lihat dulu diri sendiri seperti apa. Kalau kita sebagai pemimpin negara, jangan banyak menyalahkan rakyatnya. Lebih baik para penyelenggara negara gigih memperbaiki diri sehingga bisa menjadi teladan. Insya Allah, walaupun tanpa banyak berkata, dia akan membuat perubahan cepat terasa, jika berani memperbaiki diri. Itu lebih baik dibanding banyak berkata, tapi tanpa keberanian menjadi suri teladan. Jangan terlalu banyak bicara. Lebih baik bersungguh-sungguh memperbaiki diri sendiri. Jadikan perkataan makin halus, sikap makin mulia, etos kerja makin sungguh-sungguh, ibadah kian tangguh. Ini akan disaksikan orang.
Membicarakan dalil itu suatu kebaikan. Tapi pembicaraan itu akan menjadi bumerang ketika perilaku kita tidak sesuai dengan dalil yang dibicarakan. Jauh lebih utama orang yang tidak berbicara dalil, tapi berbuat sesuai dalil. Walaupun tidak dikatakan, dirinya sudah menjadi bukti dalil tersebut. Mudah-mudahan, kita bisa menjadi orang yang sadar bahwa kesuksesan diawali dari keberanian melihat kekurangan diri sendiri. Jadi teringat kutipan kata bijak dari sebuah buku seperti ini:
Jadilah kau sedemikian kuat sehingga tidak ada yang dapat mengganggu kedamaian pikiranmu
Lihatlah sisi yang menyenangkan dari setiap hal
Senyumlah pada setiap orang
Gunakanlah waktumu sebanyak mungkin untuk meningkatkan kemampuanmu sehingga kau tak punya waktu lagi untuk mengkritik orang lain
Jadilah kau terlalu besar untuk khawatir dan terlalu mulia untuk meluapkan kemarahan
Satu-satunya tempat dimana kita dapat memperoleh keberhasilan tanpa kerja keras adalah hanya dalam kamus.
Di awal tahun, awal bulan dan awal minggu (Jum’at adalah awal minggu bagi umat Islam), ayo kita semua mulai memperbaiki diri. Suatu karya besar selalu diciptakan oleh orang-orang yang berfikir besar. Namun perubahan besar pasti dimulai dari satu langkah kecil, dan itu dimulai dari diri kita masing-masing.
Wallahualam bishowab

Ramadhan : Stasiun Besar Musafir Iman


Oleh : Ustadz KH Rahmat Abdullah (Allahu yarham)
Tak pernah air melawan qudrat yang ALLAH ciptakan untuknya, mencari dataran rendah, menjadi semakin kuat ketika dibendung dan menjadi nyawa kehidupan. Lidah api selalu menjulang dan udara selalu mencari daerah minimum dari kawasan maksimum, angin pun berhembus. Edaran yang pasti pada keluarga galaksi, membuat manusia dapat membuat mesin pengukur waktu, kronometer, menulis sejarah, catatan musim dan penanggalan. Semua bergerak dalam harmoni yang menakjubkan.
Ruh pun – dengan karakternya sebagai ciptaan ALLAH – menerobos kesulitan mengaktualisasikan dirinya yang klasik saat tarikan gravitasi ‘bumi jasad’ memberatkan penjelajahannya menembus hambatan dan badai cakrawala.
Kini – di bulan ini (Ramadhan)– ia jadi begitu ringan, menjelajah ‘langit ruhani’. Carilah bulan – diluar Ramadlan – saat orang dapat mengkhatamkan tilawah satu, dua, tiga sampai empat kali dalam sebulan. Carilah momentum saat orang berdiri lama di malam hari menyelesaikan sebelas atau dua puluh tiga rakaat. Carilah musim kebajikan saat orang begitu santainya melepaskan ‘ular harta’ yang membelitnya.
Inilah momen yang membuka seluas-luasnya kesempatan ruh mengeksiskan dirinya dan mendekap erat-erat fitrah dan karakternya.
Marhaban ya Syahra Ramadlan Marhaban Syahra’ Shiyami
Marhaban ya Syahra Ramadlan Marhaban Syahra’ al-Qiyami
Keqariban di Tengah Keghariban (pendekatan diri ditengah keterasingan)
Ahli zaman kini mungkin leluasa menertawakan muslim badui yang bersahaja, saat ia bertanya: “Ya Rasul ALLAH, dekatkah Tuhan kita, sehingga saya cukup berbisik saja atau jauhkah Ia sehingga saya harus berseru kepada-Nya?”
Sebagian kita telah begitu ‘canggih’ memperkatakan Tuhan. Yang lain merasa bebas ketika ‘beban-beban orang bertuhan’ telah mereka persetankan.
Bagaimana rupa hati yang Ia tiada bertahta disana? Betapa miskinnya anak-anak zaman, saat mereka saling benci dan bantai. Betapa sengsaranya mereka saat menikmati kebebasan semu; makan, minum, seks, riba, suap,
syahwat, dan seterusnya. padahal mereka masih berpijak di bumi-Nya.
Betapa menyedihkan, kader yang grogi menghadapi kehidupan dan persoalan, padahal Ia yang memberinya titah untuk menuturkan pesan suci-Nya. Betapa bodohnya masinis yang telah mendapatkan peta perjalanan, kisah kawasan rawan, mesin kereta yang luar biasa tangguh dan rambu-rambu yang sempurna, lalu masih membawa keluar lokonya dari rel, untuk kemudian menangis-nangis lagi di stasiun berikut, meratapi kekeliruannya. Begitulah berulang
seterusnya.
Semua ayat dari 183-187 surat Al-Baqarah bicara secara tekstual tentang puasa. Hanya satu ayat yang tidak menyentuhnya secara tekstual, namun sulit untuk mengeluarkannya dari inti hikmah puasa. “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (katakanlah): ‘Sesungguhnya Aku ini dekat…” (Al-Baqarah:185).
Apa yang terjadi pada manusia dengan dada hampa kekariban (kedekatan) ini? Mereka jadi pandai tampil dengan wajah tanpa dosa didepan publik, padahal beberapa menit sebelum atau sesudah tampilan ini mereka menjadi drakula dan vampir yang haus darah, bukan lagi menjadi nyamuk yang zuhud. Mereka menjadi lalat yang
terjun langsung ke bangkai-bangkai, menjadi babi rakus yang tak bermalu, atau kera, tukang tiru yang rakus.
Bagaimana mereka menyelesaikan masalah antar mereka? Bakar rumah, tebang pohon bermil-mil, hancurkan hutan demi kepentingan pribadi dan keluarga, tawuran antar warga atau anggota lembaga tinggi negara, bisniskan hukum,
jual bangsa kepada bangsa asing dan rentenir dunia. Berjuta pil pembunuh mengisi kekosongan hati ini. Berapa lagi bayi lahir tanpa status bapak yang syar’i? Berapa lagi rakyat yang menjadi keledai tunggangan para politisi
bandit? Berapa banyak lagi ayat-ayat dan pesan dibacakan sementara hati tetap membatu? Berapa banyak kurban berjatuhan sementara sesama saudara saling tidak peduli?
Nuzul Qur’an di Hira, Nuzul di Hati
Ketika pertama kali Alqur’an diturunkan, ia telah menjadi petunjuk untuk seluruh manusia. Ia menjadi petunjuk yang sesungguhnya bagi mereka yang menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Ia benar-benar
berguna bagi kaum beriman dan menjadi kerugian bagi kaum yang zalim. Kelak saatnya orang menyalahkan rambu-rambu, padahal tanpa rambu-rambu kehidupan menjadi kacau. Ada juga orang berfikir, malam qadar itu selesai sudah, karena ALLAH menyatakannya dengan Anzalnahu (kami telah menurunkannya), tanpa melihat tajam-tajam pada katatanazzalu’l Malaikatu wa’l Ruhu (pada malam itu turun menurunlah Malaikat dan Ruh), dengan kata kerja permanen.
Bila malam adalah malam, saat matahari terbenam, siapa warga negeri yang tak menemukan malam; kafirnya dan mukminnya, fasiqnya dan shalihnya, munafiqnya dan shiddiqnya, Yahudinya dan Nasraninya? Jadi apakah malam itu malam fisika yang meliput semua orang di kawasan?
Jadi ketika Ramadlan di gua Hira itu malamnya disebut malam qadar, saat turun sebuah pedoman hidup yang terbaca dan terjaga, maka betapa bahagianya setiap mukmin yang sadar dengan Nuzulnya Alqur’an di hati pada malam qadarnya masing-masing, saat jiwa menemukan jati dirinya yang selalu merindu dan mencari sang Pencipta. Yang tetap terbelenggu selama hayat dikandung badan, seperti badan pun tak dapat melampiaskan kesenangannya, karena selalu ada keterbatasan bagi setiap kesenangan. Batas makanan dan minuman yang lezat adalah kterbatasan perut dan segala yang lahir dari proses tersebut. Batas kesenangan libido ialah menghilangnya kegembiraan di puncak
kesenangan. Batas nikmatnya dunia ialah ketika ajal tiba-tiba menemukan rambu-rambu:Stop!
Alqur’an dulu, baru yang lain
Bacalah Alqur’an, ruh yang menghidupkan, sinari pemahaman dengan sunnah dan perkaya wawasan dengan sirah, niscaya Islam itu terasa ni’mat, harmoni, mudah, lapang dan serasi. Alqur’an membentuk frame berfikir. Alqur’an
mainstream perjuangan. Nilai-nilainya menjadi tolok ukur keadilan, kewajaran dan kesesuaian dengan karakter, fitrah dan watak manusia. Penguasaan outline-nya menghindarkan pandangan parsial juz-i. Penda’wahannya dengan kelengkapan sunnah yang sederhana, menyentuh dan aksiomatis, akan memudahkan orang memahami Islam, menjauhkan perselisihan dan menghemat energi ummat.
Betapa da’wah Alqur’an dengan madrasah tahsin, tahfiz dan tafhimnya telah membangkitkan kembali semangat keislaman, bahkan di jantung tempat kelahirannya sendiri. Ahlinya selalu menjadi pelopor jihad di garis depan,
jauh sejak awal sejarah ummat ini bermula. Bila Rasulullah meminta orang menurunkan jenazah dimintanya yang paling banyak penguasaan Qur’annya. Bila menyusun komposisi pasukan, diletakkannya pasukan yang lebih banyak
hafalannya. Bahkan di masa awal sekali, ‘unjuk rasa’ pertama digelar dengan pertanyaan ‘Siapa yang berani membacakan surat Arrahman di Ka’bah?’. Dan Ibnu Mas’ud tampil dengan berani dan tak menyesal atau jera walaupun pingsan dipukuli musyrikin kota Makkah.
Puasa: Da’wah, tarbiah, jihad dan disiplin
Orang yang tertempa makan (sahur) di saat enaknya orang tertidur lelap atau berdiri lama malam hari dalam shalat qiyam Ramadlan setelah siangnya berlapar-haus, atau menahan semua pembatal lahir-batin, sudah sepantasnya mampu mengatasi masalah-masalah da’wah dan kehidupannya, tanpa keluhan, keputusasaan atau kepanikan. Musuh-musuh ummat mestinya belajar untuk mengerti bahwa bayi yang dilahirkan di tengah badai takkan gentar menghadapi deru angin. Yang biasa menggenggam api jangan diancam dengan percikan air. Mereka ummat yang biasa menantang dinginnya air di akhir malam, lapar dan haus di terik siang.
Mereka terbiasa memburu dan menunggu target perjuangan, jauh sampai ke akhirat negeri keabadian, dengan kekuatan yakin yang melebihi kepastian fajar menyingsing. Namun bagaimana mungkin bisa mengajar orang lain, orang yang tak mampu memahami ajarannya sendiri? “Faqidu’s Syai’ la Yu’thihi” (Yang tak punya apa-apa tak akan mampu memberi apa-apa).
Wahyu pertama turun di bulan Ramadlan, pertempuran dan mubadarah (inisiatif) awal di Badar juga di bulan Ramadlan dan Futuh (kemenangan) juga di bulan Ramadlan. Ini menjadi inspirasi betapa madrasah Ramadlan telah memproduk begitu banyak alumni unggulan yang izzah-nya membentang dari masyriq ke maghrib zaman.
Bila mulutmu bergetar dengan ayat-ayat suci dan hadits-hadits, mulut mereka juga menggetarkan kalimat yang sama. Adapun hati dan bukti, itu soal besar yg menunggu jawaban serius.

Kamis, 10 Juli 2014

Betapa Malu Diri...










Betapa malu diri ini
Tatkala Ramadhan menghampiri
Tak ada sebuah perubahan yang pasti
Dalam menaati perintah Nabi
Menjunjung tinggi syariat Islami
Tuk mengarungi hari-hari


Betapa malu diri ini
Hanya mampu berdiam
Saat pahala berhamburan
Tak mau bergerak
Untuk bertindak

Betapa malu diri ini
Di depan mata ada bulan suci
Tetapi tak dihiasi
Dengan amal ibadah terpuji
Melewati hari-hari
Tanpa mengingat Sang Ilahi
Pahala berlimpah diberi
Kasih sayang-Nya ditunjuki
Rahmat-Nya dihampiri
Masihkan tak mau memuji?


Diri ini terlalu angkuh
Tak mau patuh
Menjalankan yang disuruh
Hanya mengikuti hawa nafsu tubuh
Maksiat disentuh
Kebaikan pun luluh
Mengapa tak bergembira?


Di saat datang bulan nan mulia
Bulan yang mendidik manusia
Menjadi insan yang bertaqwa
Mematuhi segala perintah-Nya
Menjauhi semua larangan-Nya
Tak malukah diri ini?


Berlumur dosa setiap hari
Tak mau bertaubat sejak dini
Tak malukah diri ini?
Bulan mulia mendekati
Tapi malah dijauhi
Berlari… Pergi…
Tanpa ada dzikir Ilahi
Yang menunjukkan bukti
Bahwa diri ini
Mengharapkan ridha Ilahi


Sumber : Dakwatuna

Membangun Mimpi Anak Negri



Jika kita di kota, dan kita bertanya, “Nak, kamu mau jadi apa nanti kalau sudah dewasa?”
Maka dengan lantang dan tanpa ragu pasti mereka akan menjawab,
“Saya ingin jadi guru Buk!”
“Saya ingin jadi apoteker Buk!”
“Saya ingin jadi dokter Buk!”
“Saya ingin jadi tentara Buk!”
“Saya ingin jadi polisi Buk!”
Akan banyak lagi jawaban mereka terkait cita-cita. Apakah itu mulai dari yang nantinya akan berbaju seragam ataupun hidup bebas sebagai pengusaha. Tapi terserah apapun yang mereka inginkan. Terserah mereka akan menjadi orang sukses seperti apa nantinya, yang terpenting mereka punya cita-cita!
Lalu bagaimana dengan anak-anak yang ada di pelosok negeri? Bagaimana nasib mereka? Bagaimana mereka nanti saat dewasa jika sekarang saja ketika ditanya tentang cita-cita, mereka hanya tertunduk. Tertawa polos melihatkan deretan gigi mereka. Semua itu bukan karena mereka malu, melainkan mereka tidak tahu!
Bukan seorang dua orang. Tapi kebanyakan anak seperti itu.  Jadi apa mereka nanti setelah besar jika dari sekarang saja mereka tidak tahu apa yang akan mereka kerjakan setelah dewasa nanti?
Kita sama-sama tahu, cita-cita adalah salah satu tujuan hidup. Orang yang punya cita-cita saja terkadang dapat berbelok-belok arah hidupnya, lalu bagaimana dengan mereka yang tidak punya cita-cita? Pasti jalan hidup yang mereka tuju takkan terarah. Mereka bingung. Dan bahkan mereka yang tidak punya cita-cita dan tujuan hidup ini, akhirnya putus sekolah.
Kenapa? Karena mereka tidak punya alasan untuk sekolah. Mereka berpikir, percuma saya sekolah, toh akhirnya saya akan tetap bekerja juga.
Tapi bekerja seperti apa yang mereka maksud?  Pasti bekerja yang hanya mengandalkan tenaga dan otot. Bukan mengandalkan otak.
Kita selalu berkoar-koar. Indonesia kaya. Indonesia kaya. Tapi buktinya kebanyakan rakyat Indonesia masih hidup dengan ekonomi rendah. Kenapa? Karena sumber daya manusianya yang kurang.
Lalu siapa yang bertanggung jawab atas kemajuan negeri ini?
Jawabannya adalah saya, anda, kita semua.
Apalagi kita yang sebagai pemuda. Nasib Indonesia yang akan datang dilihat dari bagaimana kita sebagai pemuda Indonesia hari ini. Oleh karena itu, bangunlah wahai para pemuda!  Ayo menjadi guru yang menginspirasi dan membangkitkan semangat anak negeri! Mari berpartisipasi membangun mimpi-mimpi anak negeri hingga nanti mereka akan lahir sebagai pemuda yang berpotensi dan berkompentensi. Hingga nanti pada akhirnya, Indonesia jaya tak hanya lagi sekedar mimpi.

Oleh : Sri Wahyuni